Belum
juga jiwa ini benar-benar bersatu dengan tubuhku yang menggigil bekas dingin
semalam, dan mata ini juga belum benar-benar dapat befungsi dengan baik. Layaknya
mimpi di tengah savana kau tersenyum di sampingku di atas sofa yang begitu
sering aku tiban. Entah angin apa semalam yang begitu menguatkanmu dan
mengejutkanku, “maaf...aku tidak dapat berkespresi sesuai ekspektasimu”.
Mungkin benar, kata-kata telah
kehabisan makna dalam menunjukkan eksistensi dari pesan yang kita baca. Maka,
lebih dari sekedar ciuman dan pelukan makna begitu dalam terasa walau kita
tidak dapat memastikannya, karena ini hanya tafsir. Tapi sudahlah, tafsir pun
selalu memiliki makna. Termasuk kehadiranmu pagi itu.
Sebenarnya aku begitu membenci meraba-raba dalam gelap dan seolah-olah sesuai dengan pikiranku tapi dibalik kerja akal yang seringkali membaptis kebenaran lewat realitas empiris, dipengulangan hidupku rasa-rasanya inilah kali keduaku disapa oleh cinta. Tentu saja sapa pertama kali ketika ibuku menggelontorkan aku melalui selubung rahimnya. Telah habis kata untuk menunjukkan betapa bahagianya jiwa dan tubuh yang lunglai ini, hingga aku katakan saja “seperti ending bahagia sebuah film”. Sederhana...
Terimakasih untuk kehadiranmu
dipengulangan hidupku
Terimakasih untuk kekuatan yang
membawamu kedekapanku
Terimakasih untuk niat tulus yang
meremajakan aku
Terimakasih telah memberiku “Paolo”
yang mencerminkan kesetiaan
Terimakasih telah memberiku harapan
yang menandakan kehidupan
Terimakasih telah membawakanku
cahaya yang membunuh hujan
Dan akhirnya, terimakasih atas Ilahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar