Selasa, 22 Desember 2015

Antara Busur, Sifat Alay dan Eksistensi

Malam, kata banyak pujangga seringkali memberikan imajinasi yang tersalurkan lewat banyak karya. Keindahan, dingin, sunyi dan cahaya begitu kerap disandingkan dengan kata malam. Ada juga dari mereka yang memasangkan kata malam dengan ketakutan, kegelapan dan kejahatan. Untuk para sang imajiner, malam identik dengan hal-hal di atas. Sempat saya pun merasakan kekuatan malam yang begitu menyengat, bak bisa sekoloni lebah. Tapi semenjak dua malam lalu, dan mungkin untuk beberapa hari ke depan, malam bagi saya identik dengan busur panah karya cipta para alay kota urban.

          Spontan saja, cerita malam itu terhenti oleh melayangnya sebuah anak busur di sela-sela kaki kami. Cerita mengenai remaja kota ini yang penuh potensi minim publikasi, dan mimpi-mimpi membangun wadah candradimuka untuk memberikan apresiasi positif remaja kota ini tiba-tiba berubah menjadi horor. Di satu sisi, pembicaraan malam itu kami isi oleh retorika dalam namun renyah, agar remaja kota ini lebih produktif dan berani menampilkan karya-karyanya, tetapi disisi lain sekelompok remaja alay melemparkan anak busurnya ke arah kami. Ini seperti pertarungan malaikat baik dan kejahatan iblis, di kedua sisi roh manusia. Sekelompok alay pelontar busur telah banyak mengubah citra malam para pujangga menjadi ketakutan, seperti para nelayan yang terancam oleh reklamasi pantai kota ini.

          Berbicara mengenai benda satu ini (busur), sudah tidak asing lagi bagi masyarakat kota Palu. Busur, menjadi alat yang begitu menakutkan. Busur itu buta, sama dengan cinta yang tidak tebang pilih pada siapa kita jatuh cinta, busur tidak pernah melihat status dan kelas sosial, entah kau anak seorang pejabat, kiyai atau bahkan seorang aparat, bila busur telah memilihmu maka terjadilah. Bahkan seringkali busur tersebut melukai diri sendiri, seperti cinta yang tidak terbalas khas para alay dengan tontonan FTV dan program hiburan yang minim edukasi. Mungkin saja, sekelompok remaja yang seringkali membuat teror dengan busur di beberapa sudut kota ini kurang mendapatkan tontonan berkualitas. Hidup mereka sebatas jendela-jendela tv dan tembok-tembok media sosial. Eksistensi khas para alay di progrm-program hiburan tampaknya terlihat jelas dalam diri remaja ber-busur ini. Para alay di program tv, rela melakukan apa saja demi sebuah frame di televisi yang kemudian mereka posting pada tembok-tembok medsos mereka. Remaja ber-busur pun demikian, untuk memperoleh pengakuan di lingkungan sosial, mereka rela berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa, satu dua busur melayang, melukai bahkan menewaskan orang tak berdosa tidak mengapa, asalkan pengakuan eksitensi mereka peroleh dari rekan sejawat mereka.

         Ada kemiripin identitas internal dari sekelompok remaja ber-busur dengan para alay program hiburan di televisi. Para alay dan remaja ber-busur memiliki waktu-waktu tertentu untuk melakukan aksi teror mereka, bedanya alay melakukan perilaku tidak jelas mereka atas nama hiburan sedangkan remaja ber-busur melakukannya atas nama solidaritas atau bisa jadi agar tidak dikatakan penakut. Kemiripan identitas ini juga terlihat dari lokasi yang mereka teror, alay melakukan aksi teror mereka di panggung-panggung hiburan, seperti studio tv, mall dan media sosial, sedangkan remaja ber-busur melakukannya di sudut-sudut kota yang ditengarai sebagai base camp kelompok ber-busur lainnya. Selain waktu dan lokasi, kemiripan juga terdapat pada pelaku yakni, alay dan para remaja ber-busur kota ini adalah para remaja berusia 14-22 tahun. 

          Kedewasaan bersikap diperlukan untuk memahami perilaku alay ini, agar tidak banyak lagi jatuh korban dari sikap alay remaja ber-busur. Atau, kita kembalikan ke hukum alam, bila dunia tidak membuatmu betah maka berhenti dan hancurkan, kata seorang teman yang menolak untuk menjadi alay.  

Rabu, 16 Desember 2015

Mengurai Makna Bersama Dalam Angkringan Gerobak Ide

Hari itu, menjelang terbenamnya matahari di ufuk timur sana, sepasang roda berputar perlahan di atas aspal Jalan Tadulako, Palu. Sebuah gerobak berwarna dasar merah  dengan beberapa garis hitam di tulang-tulang penyangganya telah siap untuk memanjakan rutinitas senda gurau kaum urban Palu. Angkringan Gerobak Ide, menjadi sebuah alternatif tempat bagi mereka yang telah bosan dengan hiruk pikuk keseharian yang padat.

Suasana Angkringan Gerobak Ide
 Mengusung konsep angkringan Yogya, Gerobak Ide (GI) menyulap halaman ruko Global Indo Motor menjadi sebuah angkringan dengan berbagai menu sederhana dan pastinya sangat murah. Nasi uduk adalah ciri khas menu GI, terdapat juga sate telur puyuh dan tahu isi serta tempe goreng yang selalu menemani santapan nasi uduk GI. Pemilihan konsep angkringan seperti ini, sejauh pengamatan penulis – masih sangat jarang ada di Palu, bahkan menjadi satu-satunya tempat kuliner yang menawarkan angkringan khas Yogya, dengan menu tradisional rumahan

Menu Komplit Nasi Uduk GI
Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi GI, ditengah-tengah ramainya tempat kuliner seperti warkop dan kafe di Palu, Gerobak Ide membawa para tamunya dalam sebuah kebersamaan tanpa gangguan musik yang mendentum keras dan tanpa jaringan wi-fi yang kerap kali mengaburkan makna interaksi kemanusiaan. Selain sajian nasi uduk, untuk menambah sentuhan tradisional, GI juga menjajakan menu kuliner nasi kuning isi ikan tuna. Nasi kuning ikan tuna ini dibuat khusus bagi mereka yang menyukai sentuhan pedas di makanannya.
Membicarakan angkringan, tidak lengkap rasanya apabila tidak menyajikan menu kopi di dalamnya. Angkringan Gerobak Ide menyadari hal ini, bahwa kopi telah menjadi konsumsi utama dalam setiap interaksi kaum urban. Kopi tidak dapat dilihat lagi sebatas minuman rumah yang begitu sederhana untuk dinikmati, melainkan kopi telah menjadi komoditas utama dalam banyak bisnis kuliner. Hanya saja, dengan berkembangnya teknologi, banyak bisnis kuliner yang melupakan substansi dari meminum kopi. Oleh GI, meminum kopi dipandang sebagai rutinitas sederhana, murah dan tidak ribet. Seperti orang tua di desa-desa, meminum kopi cukup dengan menyeduhnya dengan air panas, tambahan gula dan sedikit senda gurau dalam meminumnya, sederhana. No machine, no expensive and no class. Apabila angkringan di Yogya memiliki kopi jos yang menjadi ciri khas, maka angkringan GI memiliki kopi bir sebagai racikan menu khas. Selain itu, angkringan GI tidak ingin setengah-setengah apabila berbicara kopi, angkringan GI memilih kopi asli Toraja yang dipesan langsung dari Makale, Tanah Toraja dan juga kopi Kalosi dari Kab. Enrekang Sulsel.

Senin, 15 Juni 2015

Bassang dan Gerakan ‘Back To 90’

Masa lalu selalu memberikan rasa tersendiri bagi kebanyakan orang. Iya, masa lalu seringkali dikaitkan dengan sebuah kenangan manis bersama seseorang atau kepahitan bersama orang lainnya. Tapi, bagi saya masa lalu seperti semangkok bassang. Mengapa semangkok bassang, bukan sepiring atau sesendok, lalu mengapa pula dengan bassang, bukan bubur kacang ijo ataupun rempeyek. Secara tegas saya katakan, ini adalah hak preogratif dari penulis.
Akhir-akhir ini, begitu banyak wacana dari media sosial yang mengkampanyekan mengenai ‘back to 90’. Mulai dari musik, film kartun permainan dan pakaian. Tapi bagi saya, ‘back to 90’ adalah bassang. Kerinduan terhadap masa lalu saat masa kecil dan masa remaja bisa jadi  adalah gerakan bawah tanah bagi sekelompok orang yang menginginkan Indonesia kembali dipimpin oleh diktator, Soeharto. Bisa jadi gerakan ini bermula dari wacana ‘pop culture’ dimana menggunakan isu-isu tentang menyenangkannya masa kecil dan remaja sebagai jalan pembuka bagi masuknya kembali penguasa zalim. Tapi, hal ini tidak dapat menafikkan bassang sebagai makanan pembuka pagi hari ketika saya kecil. Dimana gerakan makan bassang, menjadi satu-satunya gerakan apolitis yang bebas nilai. Hari ini ‘back to 90’, besok-besok bisa jadi ‘back to Orba’
Saya menduga, sekelompok orang yang menggawangi wacana ‘back to 90’ tidak pernah merasakan bassang. Mereka tidak pernah merasakan sedapnya kepulan asap dari buih jagung dengan santan, dicampur gula sedikit sehingga manisnya tidak lekang dimakan zaman, baik itu zaman orla, zaman orba hingga zaman reformasi. Biar saya memberitahu kalian, bassang adalah makanan andalan saya ketika kecil, bassang menjadi makanan wajib sebelum berangkat sekolah, dan beliau (read:bassang) tidak pernah mengeluh. Bassang menjadi sebuah unsur pagi seperti embun bagi warga Makassar. Kalian boleh beda mengenai Jokowi dan Prabowo, kalian boleh beda mengenai liverpool, Real Madrid dan Milan tapi bassang adalah keniscayaan.

Basaang merupakan representatif dari Makassar, panas, mengepul, putih, bersih dan mengenyangkan. Yahhh, seperti Makassar yang selalu bersemngat, menjunjung kebenaran dan selalu bermanfaat bagi orang lain.  

Kamis, 17 April 2014

Sang Pembunuh


                 Sosok menakutkan itu kembali menyeruak dari balik dinding lampau. Bayangannya begitu kelam, hingga ratusan cahaya neon tak mampu memberkasnya. Ada gelisah dan prahara dari sorot matanya yang runcing. Mungkin bersiap untuk menikam dada yang tidak terjaga oleh rompi. Wajah ini tertunduk tegang, tak berani menengoknya walau hanya sesaat. Pun mata ini seperti kehilangan kelopak, tak mampu membuka tertutup rapat hingga gemetar.

         Bayangan lampau itu bernama Alone. Sejak dahulu dia terus menguntitku, membuntutiku tak kenal lelah. Dari pagi ke pagi lagi. Dari senja ke senja lagi, dari kemarau ke kemarau lagi, alone selalu berada di balik dinding itu. Kadang dia bersembunyi di balik pintu, menungguku masuk ke kamar dan mengagetkanku. Pernah suatu kali dia berada di bawah kolong ranjang bersama dengan debu-debu dan bangkai kecoa yang telah membusuk. 

                Bertahun-tahun aku mencoba menghindarinya. Bersembunyi di balik senyum dan kepura-puraan. Kadang aku tidak pulang ke rumah agar tidak berjumpa dengannya. Kadang pula aku menyibukkan diri dengan kontong-kantong keramain pasar dan terminal. Berharap Alone bosan menungguku pulang dan akhirnya patah arang. 

            Aku mencoba bertahan di luar sana dengan harapan Alone telah pergi dari rumah karena terlalu lama menungguku. Bertahan di luar sana tidak semudah seperti para rockstar yang berkeluh kesah dengan zaman. Tidak semudah para ustadz juga yang menyampaikan dalil-dalil kebenaran di depan para jamaat bayaran. Sungguh bertahan di luar sana adalah kesukaran yang berlebih. Hingga suatu saat aku berjumpa dengan kawan hawa yang sekiranya dapat menemaniku untuk melupakan rumah dan Alone. Aku begitu takjub dengan kawan hawa ini, hingga suatu waktu aku memergoki dia sedang bercumbu dengan sesosok tubuh yang begitu familiar denganku. Benar saja, dia adalah Alone. Sungguh, begitu menjijikannya kawan hawa itu dan lebih menjijikan lagi adalah senyum tragisnya yang mekar di depan nisanku. 

            Kupacu nafas ini kembali ke rumah. Kulalaui jalan-jalan yang becek terkena hujan semalam. Waktu seperti berkejaran denganku, jangan sampai Alone tiba duluan di rumah. Aku ingin menguncikannya dari dalam rumah, aku ingin menutup rapat-rapat setiap pintu dan jendela. Pikirku, ketika aku tak mampu membuatnya pergi dengan tidak pulang ke rumah, maka aku akan membuatnya membusuk di luar sana menunggu aku keluar dari rumah. Kubuka gembok pagar kututup dan kukunci kembali. Ku buka pintu rumah dan kututup kembali. Ku rapatkan setiap celah dari jendela dan pintu belakang rumah, kupastikan bahwa tak ada sedikitpun lubang yang akan dilalui oleh Alone untuk masuk ke rumah. 

            Sesaat setelah memastikan semuanya tertutup rapat, aku mencoba untuk menghela nafas dalam-dalam. Sedikit melonggarkan kancing celana dan menukar baju yang bau keringat. Kaget saja, ketika aku membuka lemari, Alone berada dalam lemari pakaianku. Aku mencoba untuk menenangkan diri, tidak panik dan berusaha berpikir logis. Tiba-tiba untuk pertama kalinya dalam usiaku, Alone menyapaku,

“Hei, tidakkah kau lelah menghindariku...? Mengapa kau begitu bodoh, bahwa aku ada dimana-mana. Mengapa kita tidak mencoba  berteman saja agar kau tak sendiri lagi.”?

“Tidak” ujarku...

Aku adalah orang yang pantang untuk menyerah dan menyerahkan sisa hidupku bersama Alone. Ditengah kegusaranku, tiba-tiba suara halus itu mengalir di dalam rongga-rongga telingaku. Suara itu sepertinya aku mengenalnya. Kucari-kucari, kesetiap sudut rumah ini. Suaranya makin lantang, tapi tetap saja aku tidak dapat mendengar dengan jelas yang diucapkannya.  Suara itu berasal dari smartphone ku. Benar saja, satu pesan pemberitahuan dari aplikasi chat menyapaku.Tertulis nama sang pengirim. Dia yang aku kenal ketika aku bertahan di luar sana. Dia yang menyukai memandang bintang dari genteng rumahnya. Dia yang memimpikan memiliki rumah dengan halaman yang luas agar dapat berkebun. Dia yang memiliki keinginan untuk melihat kota serambi mekkah. Dia yang membuncahkan rinduku sejak malam itu di depan pagar rumahnya. 

Sesaat setelah itu, aku mencari-cari alone. Aku ingin mengatakan padanya, bahwa aku tak akan berteman dengannya. Bahwa aku akan segera membunuhnya. Kucari Alone di tempat-tempat biasa dia bersembunyi, di lemari, kolong ranjang, ventilasi jendela, di balik pintu. Aku tidak menemukannya. 

Beberapa hari kemudian, aku mendenga kabar bahwa Alone kini berada di rumah sebelah, sedang membuntuti seseorang sembari mengawasiku kalau saja aku kehilangannya.

Maka jangan pernah mengucapkan selamat tinggal hai pemilik rindu
Jangan pernah berlari jauh hai penyuka putih
Jangan pernah melambaikan tangan wahai pemilik pagar asa
Dan jangan pernah ragu padaku hai pembimbing ikrar
Jangan juga biarkan dirimu berhenti percaya hai pembunuh Alone
           


Selasa, 04 Februari 2014

Jangan Tanyakan Keyakinanku Pada Einstein



Ternyata malam tetap saja gelap dan siang tidak jua menunjukkan kesejukan. Ada misteri di balik setiap langkah dan senyum yang terbias dari diri. Begitu juga dengan bintang yang hanya muncul ketika bulan dengan malu-malu bersembunyi di selaput awan yang tipis, tidak berani untuk menantang matahari walau hanya sesaat ketika adzan shubuh berkumandan. Lalu matahari juga ternyata dapat saja rapuh ketika rotasi bumi tetap berada pada strukturnya. Kesimpulannya, tidak ada yang abadi. Bahkan tulisan ini, karena tafsir memiliki territorial dalam setiap diri manusia.

Lalu untuk apa berjuang bagi sebuah keabadian yang semu?
Dan untuk apa kita berjudi pada hal yang yang setiap saat dapat menelantarkan kita?
Apakah seorang Soekarno memiliki ilmu prediksi yang begitu valid sehingga mati-matian mempersatukan seluruh kerajaan dalam NKRI?
Atau apakah para wali dapat membaca masa depan sehingga kita mempertaruhkan keyakinan kita pada mereka?

Banyak hal yang tidak mampu terjawab oleh mereka yang mengabdi pada saince modern dan oleh mereka yang sering berargumentasi atas nama cinta. Karena cinta bagiku juga adalah misteri, pun ketika mereka mengatakan cinta adalah permainan atau juga cinta adalah persoalan memberi. Untuk itu, lakukan saja yang terbaik karena mungkin saja Ilahi dan segala misterinya memberi kita kesempatan untuk mengucapkan janji setia selamanya dengan balutan lingkaran berlian di jari manismu. Dan karena tidak ada yang abadi, maka setiap waktu adalah kesempatan untuk bersenang-senang dengan bijak dan berbagi kasih dengan tenang. 

Jangan mempertanyakan keyakinan seseorang, karena Einstein pun akan kelimpungan. Biarkan malam  jadi saksi, hujan akan jadi walimu dan angin serta lampu jalan pun akan bersorak sorai meilihat kita mengangkangi Eisntein.   

Selasa, 21 Januari 2014

Terimkasihku Pada 19 dan 20



         Belum juga jiwa ini benar-benar bersatu dengan tubuhku yang menggigil bekas dingin semalam, dan mata ini juga belum benar-benar dapat befungsi dengan baik. Layaknya mimpi di tengah savana kau tersenyum di sampingku di atas sofa yang begitu sering aku tiban. Entah angin apa semalam yang begitu menguatkanmu dan mengejutkanku, “maaf...aku tidak dapat berkespresi sesuai ekspektasimu”.
            Mungkin benar, kata-kata telah kehabisan makna dalam menunjukkan eksistensi dari pesan yang kita baca. Maka, lebih dari sekedar ciuman dan pelukan makna begitu dalam terasa walau kita tidak dapat memastikannya, karena ini hanya tafsir. Tapi sudahlah, tafsir pun selalu memiliki makna. Termasuk kehadiranmu pagi itu.

  Sebenarnya aku begitu membenci meraba-raba dalam gelap dan seolah-olah sesuai dengan pikiranku tapi dibalik kerja akal yang seringkali membaptis kebenaran lewat realitas empiris, dipengulangan hidupku rasa-rasanya inilah kali keduaku disapa oleh cinta. Tentu saja sapa pertama kali ketika ibuku menggelontorkan aku melalui selubung rahimnya. Telah habis kata untuk menunjukkan betapa bahagianya jiwa dan tubuh yang lunglai ini, hingga aku katakan saja “seperti ending bahagia sebuah film”. Sederhana...
 
            Terimakasih untuk kehadiranmu dipengulangan hidupku
            Terimakasih untuk kekuatan yang membawamu kedekapanku
            Terimakasih untuk niat tulus yang meremajakan aku
            Terimakasih telah memberiku “Paolo” yang mencerminkan kesetiaan
            Terimakasih telah memberiku harapan yang menandakan kehidupan
            Terimakasih telah membawakanku cahaya yang membunuh hujan
            Dan akhirnya, terimakasih atas Ilahi.

Mari mengulang kembali..