Senin, 29 Juli 2013

Media Partisan Adalah Racun Demokrasi Menuju 2014



Seorang Denis McQuail salah satu tokoh komunikasi dunia mengatakan, setidaknya ada tiga versi hubungan antara media dan audiensnya. Yang pertama adalah media massa memiliki hubungan organisasional yang berarti beraviliasi dengan organ atau kelompok tertentu yang mengakibatkan sikap partisan dari media muncul. Yang kedua adalah, sikap partisan dari media muncul karena adanya dorongan kondisi ekonomi, sosial dan keadaan politik tertentu yang akan memaksa media yang independen sekalipun akan memilih dan mendukung kelompok atau tokoh tertentu. Hal ini dilakukan untuk tetap menjaga eksistensi dari media. Yang ketiga adalah, media memang dibentuk oleh ideologi komersil yang membutuhkan sokongan dana dari siapapun itu, termasuk tokoh politik. 

Dari tiga versi hubungan media dengan audiensnya ala Denis McQuail di atas, dapat kita simpulkan bahwa media partisan adalah media massa yang memberikan dukungan terhadap seorang tokoh, kelompok atau golongan tertentu dan secara bersamaan dapat pula menjatuhkan tokoh, kelompok atau golongan yang berada di luar mereka. Keberpihakan dapat dikemas dengan bentuk apa saja. Mulai dari pemberitaan, iklan, talkshow atau program CSR yang khusus dibuat untuk kepentiangan sang tokoh. Ironisnya, ketika kita berpikir tentang idealisnya media massa dalam mewartakan fakta dan peristiwa, maka manipulasi data dan rekayasa fakta menjadi barang halal dalam media partisan. Implikasinya adalah, pelanggaran etika jurnalisme dan perlakukan prinsip obyektivitas menjadi hal yang langka disini. 

Apabila penjabaran dari seorang Denis McQuail di atas kita masukkan dalam konteks demokrasi di Indonesia, maka menjelang 2014 media massa telah melakukan berbagai macam tindakan yang menurut Denis McQuail adalah variabel-variabel partisan.  Sebut saja, Jariangan Media Group yaitu Harian Media Indonesia dan Metro Tv dimiliki oleh Surya Paloh yang juga merupakan pimpinan tertinggi dari Parpol Nasional Demokrat. Kemudian ada jaringan Viva News, yaitu Antv dan TvOne dimana bersemayam Aburizal Bakrie sang ketua umum Golkar. Lalu ada jaringan MNC Group yaitu, Indosiar, MNC TV, RCTI dan Global TV dimana tertera nama Hary Tanoeng Soedibyo yang menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Hanura. Trans Corp yang dimiliki oleh Chairul Tandjoeng adalah satu dari sekian banyak Media yang berprinsip komersialisasi. Lalu ada pimpinan dari Jawa Pos yang hariannya hampir disetiap kota di Indonesia ini hadir, yaitu Dahlan Iskan.  Dari fenomena di atas, tidak salah apabila media massa di Indonesia kita golongkan ke dalam media partisan. 

Media partisan telah mendapat justifikasi dari pendukung teori domino, yang memandang media sebagai alat yang dikuasai dan dapat digunakan untuk melayani kepentingan kelas sosial dominan atau kelompok elit lainnya.  Logika sederhananya adalah  daripada media gulung tikar, lebih baik mendukung kelompok tertentu yang akan memberikan sokongan dana untuk eksistensi dari media tersebut. Tapi, apapun alasan yang digunakan oleh media partisan hal ini tidak dapat diterima ketika dibawa ke rana publik. Pertama, media partisan tidak memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Kedua, media partisan dapat menjerumuskan masyarakat ke dalam pilihan-pilihan politik yang tidak tepat karena propaganda yang dilakukan. 

Menurut Yasraf A. Piliang, kuatnya kepentingan ekonomi dan kekuasaan politik inilah yang sesungguhnya menjadikan media tidak dapat netral, jujur, adil, objektif dan terbuka (sebagaimana prinsip demokrasi). Akibatnya, informasi yang disuguhkan oleh media akan menimbulkan persoalan obyektivitas pengetahuan yang serius pada media itu sendiri. Jadi, ketika rana publik dikuasai oleh politik informasi yang menjadikan informasi sebagai alat kekuasaan, media menjelma sebagai perpanjangan tangan penguasa atau kelompok tertentu dengan menguasai ruang publik.  A.Piliang menyebutnya dengan hyperalitas media, dimana media dikuasai oleh dua kepentingan yang utama, yaitu ekonomi dan politik. Media boleh jadi mencoba untuk mempresentasikan peristiwa-peristiwa secara jujur, adil, objektif dan transparan, akan tetapi berbagai bentuk tekanan dan kepentingan ideologis (pemilik,ekonomi dan politik) akan menjebak media ke dalam politisasi media yang akan merugikan publik.  

Kalau sudah begini, maka media partisan yang dibentuk dan didorong oleh hyperealitas tadi akan menjadi racun demokrasi di negeri ini.   

Rabu, 24 Juli 2013

Ramadhan Dalam Bingkai Kotak Pandora (Kritik Terhadap Televisi Sebagai Institusi Ekonomi)



Pernahkan anda memperhatikan program-program televisi belakangan ini ketika bulan ramadhan berlangsung? Jika iya,  pernahkah anda sedikit memperhatikan apa program yang paling banyak dijumpai? Secara umum, mungkin tidak banyak yang berbeda dengan program-program yang selama ini kita jumpai?
Berita, infotainment, kuis, komedi, sinetron dan ajang pencarian bakat? Lalu apa yang berbeda? Jawabannya adalah bahwa semua tayangan tersebut berubah menjadi bernuansa ramadhan atau menggunakan atribut-atribut islam.
Dalam konsep Jurgen Hubermas, media merupakan sebuah institusi sosial sekaligus menjadi institusi ekonomi. Melihat bagaimana fenomena televisi hari ini, institusi sosial seakan dilupakan dan ditutupi oleh kepentingan ekonomi dan politik. Belum lagi ketika melihat bagaimana manuver-manuver yang dijalankan oleh sang ‘bos’ yang berkecimpung aktif dalam dunia politik pemerintahan. Seakan-akan, semuanya dilupakan atas nama keuntungan ekonomi dan asal ‘bos’ senang.
            Dalam melihat media massa – dalam hal ini televisi, Hubermas berangkat dari perspektif kritis yang ditelurkan oleh Karl Marx, yang mengasumsikan tentang keterasingan manusia melalui faktor-faktor ekonomi. Marx berfokus pada hal-hal yang menjadi sumber keterasingan manusia dan menjauhkan manusia dari sebuah kesejatian, yaitu emansipasi dan tanpa dominasi. Dan ketika sebuah hal dijadikan sebagai komoditas untuk mencapai keuntungan secara ekonomi, maka saat itu pula Marx mengatatakan bahwa manusia semakin menjauh dari kemanusiaannya, dari hakikatnya karena komoditas yang dibentuk selalu saja dihasilkan dari kekuasaan yang mendominasi – sistem kapitalis.
            Begitu juga dengan bulan suci ramadhan, yang oleh seluruh umat Islam di dunia selalu menanti bulan yang sakral ini. Bahkan, seseorang yang dianggap tidak memiliki mental keislaman yang tebal atau pengetahuan agama yang kurang, bisa sangat memahami tentang ramadhan dan puasanya. Konteks ramadhan kemudian dijadikan sebagai bahan jualan oleh televisi melalui program-programnya. Segala macam tayangan, semuanya dimodifikasi menjadi bernuansa islam. Sinetron, kuis, komedi, talkshow hingga ajang pencarian bakat semuanya bertemakan tentang ramdhan atau islam.
            Dalam konteks media sebagai penyebar informasi kepada masyarakat, Joshua Meyroitz (Teori Komunikasi, Little Jhon) menggambarkan tiga metafora yang mewakili berbagai sudut pandang – media sebagai vessel, media sebagai bahasa dan media sebagai lingkungan. Pada metafora ketiga inilah, sistem televisi sebagai penyebar informasi ke masyarakat berfungsi. Metafora ini berlandaskan oleh gagasan bahwa kita hidup dalam lingkungan yang penuh dengan berbagai informasi yang disebarkan oleh keberadaan media dengan beragam kecepatan, ketepatan, kemampuan melakukan interaksi, persyaratan fisik dan kemudahan belajar. Lingkungan media tersebut membentuk pengalaman pada manusia dengan cara-cara yang signifikan dan seringkali tanpa disadari. 

a.      Realitas Media Dalam Tinjauan Ontology Kritis
            Dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan, pembahasan ontology fokus pada pertanyaan tentang ‘ada’ hakikat keberadaan dan bagaimana realitas dibentuk serta dipahami dengan menyeluruh – secara obyektif dan subyektif.  Pandangan ontology melihat sebuah realitas tidak murni sebagai apa yang ada sebenarnya. Realitas yang selalu dianggap memiliki substansi tertentu dan muatan ideology. Seperti apa yang dikatakan oleh Harrold D. Lasswell tentang fungsi media massa – televisi yaitu, survaillence (penyebearan informasi), transmission (pemberi alternative) dan correlation (penyebaran ideology). Televisi jelas sebagai penyebar informasi dalam lingkungan masyarakat. Tentunya apabila kita telaah dan pertanyakan lebih jauh, apakah informasi yang diterima adalah benar, apakah informasi tersebut dibutuhkan dan apakah informasi tersebut memiliki manfaat pada masyarakat. Informasi bisa dikatakan memiliki manfaat pada masyarakat apabila memberikan pandangan-pandangan yang berbeda dalam menyelesaikan konflik dalam masyarakat – seperti yang diakatakan pada fungsi kedua, yaitu transmission. Lebih jauh kita melihat dan menelaah  bagaimana fungsi ketiga (penyebaran ideology)  tertentu dalam penelitian ini. Pada akhirnya, kajian ontology pada perspektif kritis melihat konteks komunikasi dalam hal ini televisi adalah sebagai realitas semu yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu dalam menjalankan fungsinya.

b.      Ideologi dan Hegemoni Televisi Dalam Tinjauan Epistimologi Kritis
Dalam pandangan epistimologi, sebuah kebenaran harus didasarkan pada sebuah pendekatan. Apabila perspektif postpositivis lebih kepada pendekatan secara obyektif dan deduktif, interpretatif melakukan pendekatan subyektif dan induktif. Sedangkan pada perspektif kritis, seperti yang telah disebutkan di atas bahwa untuk memahami bagaimana teori-teori bekerja dalam perspektif kritis maka kita harus total atau secara menyeluruh menggunakan pendekatan realis (postpositivis) dan nomalis (interpretative).
Jurgen Hubermas menggunakan istilah ideology untuk menggambarkan apa yang dikatakan sebagai substansi tertentu pada realitas media. Menurut Hubermas, realitas yang ditampilkan oleh media tidak serta merta dapat dipahami sebagai apa yang menjadi sebuah kebenaran. Hubermas mengatakan, kebenaran kritis ketika tidak ada lagi ideology yang mendominasi ideology yang lainnya dan setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk mengekspresikan dirinya dalam rangka menuju emansispasi kemanusiaan. Media massa – televisi tentunya tidak dapat dipisahkan dari berbagai kepentingan terutama kepentingan ekonomi. Televisi juga menjadi penyebar informasi dan memiliki pandangan atau kepentingan ekonomi. Dalam konteks media dalam tradisi kritis, Marchal McLuhan membagi lima kategori kritik terhadap media. Salah satunya adalah, bahwa media dijadikan sebagai alat untuk meraih keuntungan yang maksimal dengan menjadikan setiap yang ditampilkan oleh media menjadi komoditas. Komoditas disinilah yang dikatakan oleh Mc Luhan sebagai penyimpangan terhadap tanggung jawab sosial media dan menjadikan orientasi media menjadi isntitusi ekonomi dan politik.
Bulan ramadhan dengan segala hiruk pikuknya dalam masyrakat Indonesia menjadi sebuah produk yang sangat sayang dilewatkan oleh televisi. Alih-alih menjadi sebuah media untuk membawa masyarakat – islam lebih dekat dan lebih bermakna ke sang khalik, televisi menjadi momok dan media hiburan yang sangat jauh dari konsep nilai-nilai keislaman. Saling mencela, saling ‘mengerjai’, merendahkan orang lain dan eksplotasi anak-anak. Kita biasa melihat beberapa tayangan hiburan di beberapa stasiun tv. Apa yang mendasari hal tersebut, tentunya kontrak yang bernilai ekonomi tinggi dari sponsor (iklan). Disinilah hukum ekonomi televisi bekerja.  

Yakinlah


Buku selalu lebih abadi


KOSMIK sampai mati


Kecerdasan

Kecerdasan hanya merupakan sistem nilai yang digunakan u dinikmati dan memperkaya diri sendiri dalam ruang2 keteraturan yg sungguh menjemukan. Seharusya, semua hasil kerja akal disalurkan dalam ruang sosial yg lebih dinamis sebagai bentuk tanggung jawab manusia terhadap manusia yang lainnya.

Sajak Untuk Dunia

Ketika jalan sudah tidak lagi nampak
Hanya ada keluh kesah dalam otak
Menjadikan kita sedikit tak berwatak, seperti katak
Oleh mereka yang katanya berakhlak
Padahal mereka hidup dari hasil malak

Terserah kalian menyebut apa tentang tuhan
Karena satu kata dapat menciptakan banyak alasan
Dalam dialektika tak berdasar kalian mencoba untuk memakan
Memakan segala argumentatsi agar tetap duduk aman
Dan bersantai di atas sebuah taman…
Taman yang dibangun diantara penindasan dan kemerdekaan
Lalu kemudian berteriak atas nama pembangunan …
Yeeahhh…demi tuhan ini untuk sang tuan…

Matahari telah melepaskan sang mahkota
Lalu kemudian tertidur meninggalkan sepasang pita
Yang satu berwarna hitam tampak buram di mata
Yang satunya lagi adalah merah seperti bata
Merah hitam dalam sebuah kata-kata
Dengan garis diagonal membelah letak yang tertata
Berusaha untuk mengangkat diri dari lembah nista
Sudahlah, kita tahu bahwa mereka hanya pendusta.

Selamat tidur untuk mereka yang berusaha terlelap
Dan Menjadikan malam sebagai selimut untuk sekejap
Deru kendaraan sebagai musik pengantar berderap
Mengingatkan kita pada sebuah tatap yang ratap
Tatapan gadis kecil yang tidak berhenti berharap
Kepada sebuah mitos tentang malaikat bersayap

Andai aku ada dalam waktu yang tepat
Dan ketika aku mempunyai sesuatu untuk kau lihat
Maka dunia akan sedikit tersenyum walau itu sebuah muslihat
Segera lepaskan belenggu aturan dan dogma adat
Agar kita tidak kelihatan seperti mayat
Yang tetap menunduk dan terdiam ketika mereka memiskinkan rakyat

Sudahlah, malam semakin larut dan gulita
Tak ada guna berdebat tentang realita
Karena kebenaran hanya untuk orang punya harta
Dan aku takkan berdoa untuk sebuah pelita
Apalagi untuk kalian yang membatu dan hanya bisa meminta

Bergeraklah dan terus bernafas untuk sebuah rindu
Percayalah akan sebuah hari yang melahirkan madu
Akan sangat manis dan penuh tawa hingga seperti candu

Pada ras mana aku berdiri?

Di luar masih gulita
malam pun hampir tanpa suara
bunyi-bunyian melantunkan segala puja puji
sebagai tanda sang raja akan kembali menguasai hari

Lembar per lembar, bab per bab telah usai
kini saatnya memberi kesempatan kpd mata u mati

Sementara saja, hanya sebentar
sebelum semuanya benar-benar berakhir
dan setiap kepingan ingatan tertuju pada dunia
mencari kehendak setiap manusia
hanya u membuktikan bahwa aku adalah ras aria