Media
massa bukan hanya mekanisme yang sederhana untuk menyebarkan informasi, lebih
daripada itu media merupakan organisasi kompleks yang membentuk institusi
sosial masyarakat yang penting. Jelasnya, media adalah pemain utama dalam
perjuangan ideologis. Sebagian besar teori komunikasi kritis berhubungan dengan
media terutama karena media memiliki kekuatan untuk menyebarkan ideology
dominan dan kekuatannya untuk menciptakan ideology tandingan atau alternative.
Bagi sebgaian ahli teori kritis, media merupakan bagian dari sebuah institusi
budaya yang secara harfiah menciptakan simbol dan gambaran yang dapat member
intervensi terhadap kelompok kecil.
Teori
kritis secara umum melebihi penelitian tentang media, tetap dalam konteks ini
tidak dapat dinafikan adanya ppengaruh yang besar dari media sebagai agen dalam
melakukan perubahan sosial. Seorang Dennis McQuaail mengungkapkan seridaknya
ada lima premis penting dalam kajian kritis memandang media massa.
1. Marxisme
klasik
Disini, media
dipandang sebagai alat bantu dari kelas yang dominan dan sebuah cara untuk para
kapitalis menunjukkan ketertarikan mereka dalam menghasilkan keuntungan. Media
menyebarkan ideology dari dorongan kelompok yang berkuasa dalam masyarakat dan
dengan demikian menindas golongan-golongan tertentu.
2. Media
ekonomi politik
Hampir sama
dengan marxisme klasik, McQuaail memandang bahwa media memiliki andil dalam
terciptanya keburukan-keburukan dalam masyarakat. Dalam pemikiran ini, isi
media adalah sebuah komoditas untuk dijual dipasaran dan informasi yang
disebarkan diatur oleh apa yang akan diambil oleh pasar. System ini merujuk
pada operasi yang konservatif dan tidak berbahaya, menjadikan jenis program
tertentu dan saluran media tertentu dominandan yang lainnya terpinggirkan.
3. Frankfurt
School Media
Konsep ini
memandang media sebagai cara untuk membangun budaya, menempatkan lebih banyak
penekanan pada pemikiran dibandingkan materi. Dalam cara piki seperti ini,
media menghasilkan dominasi ideology golongan atas. Hasil ini didapatkan dengan
manipulasi media terhadap gambar dan simbol untuk keuntungan golongan dominan.
4. Hegemoni
media
Hegemoni
merupakan dominasi ideology palsu atau cara pikir terhadap kondisi yang
sebenarnya. Ideology tidak hanya dihasilkan oleh system ekonomi saja, tetapi
ditanamkan secara mendalam disetiap kegiatan masyarakat. Jadi, ideology tidak
dapat dipaksakan oleh satu kelompok ke kelompok yang lainnya, tetapi bersifat
persuasive dan tidak sadar. Ideology yang dominan menghidupkan minat golongan
tertentu atas golongan lain dan media jelas-jelas memainkan peran yang besar
dalam proses ini.
5. Budaya
semiotika media
Tinjaun McQuaail
tentang semiotika media menarik pada pemaknaan budaya tentang hasil-hasil
media. Mereka melihat pada cara-cara isi media ditafsirkan, termasuk penafsiran
yang dominan dan oposisional. Budaya semiotika media memandang masyarakat
sebagai sebuah bidang persaingan gagasan.
Menanggapi
diskusi di atas, jelaslah bagaimana media begitu superior dalam mempengaruhi
masyarakat dari kognitif hingga behavior. Apa yang disampaikan oleh McLuhan dan
McQuaail memberikan kita gambaran betapa dasyatnya terpaan media hingga merubah
banyak pola-pola pemikiran, interaksi dan budaya kita. Tentunya
perubahan-perubahan ini bersifat dinamis dan tidak terpaku pada lingkup geografis
serta kebiasaan masyarakat. Berikut adalah beberapa perubahan pola interaksi
komunikasi serta masalah sosial yang diakibatkan oleh terpaan media.
-
Cyber crime
-
Silaturrahim virtual
-
Budaya instan
-
Gradasi nilai humanis
-
Terpinggirnya peran
keluarga
-
Tergerusnya budaya lokal
-
Semakin tipisnya batas
wilayah privat dan non-privat
Konten media banyak mempengaruhi orientasi budaya
khalayak. Misalnya dalam fashion dan mode
yang setiap tahunnya berubah, setiap
kali ada produk terbaru maka masyarakat ramai juga mengikuti model pakaian,
rambut dan sebagainya. Bagaimana mode kita bisa berubah? Tak lain merupakan
hasil dari pengaruh konten media yang kita dapatkan dari media massa.
Kondisi
ini seperti yang dikemukakan oleh Ervin Goffman adalah sebuah hypertualized representation, yaitu konten
media yang disusun hanya menyoroti tindakan paling bermakna saja. Sebuah iklan
misalnya, diedit dan menggunakan daya tarik seksual wanita untuk menarik
perhatian pria, tanpa sengaja dapat mengajarkan atau mendorong petunjuk sosial
yang memiliki dampak yang tidak disengaja, namun serius.
Cara
pandang seseorang terhadap pesan media massa menetukan cara dia dalam menyikapi
setiap pesan yang datang kepadanya dan bagaimana dia bersikap. Seringkali kita
ditawarkan oleh iklan sabun mandi dengan wanita cantik, putih, yang banyak
disukai. Namun, realitas yang ditampilkan oleh iklan tidak seindah apa yang
terjadi pada khalayak. Demikian pula kita sering dicekoki oleh tayangan
sinetron atau film yang menampilkan
peran protagonis (rupawan, cantik, pintar dan baik hati) sedangkan peran
antagonis digmbarkan buruk rupa, kejam, bodoh, jahat dll. Nyatanya dalam
realitas, sering kita menemukan para koruptor justru memiliki penampilan yang
menarik, rupawan terpelajar dll.
Pada
kondisi ini seringkali persepsi khalayak dibentuk oleh pesan media massa,
gambaran realita yang ditampilkan berita, iklan dan film kemudian membentuk
persepsi terhadapa sebagian orang tentang cara dia memandang dunia nyata. Bahwa
apa yang terjadi dalam otak kita seringkali tidak disadari. Walaupun aktifitas
ini seringkali mempengaruhi pikiran sadar kita, hal tersebut tidak secara
langsung mempengaruhi proses kognitif lainnya. Kesadaran kita bertindak sebagai
pengawas tertinggi dari aktifitas kognitif ini, tettapi hanya mampu mengontrol
secara terbatas dan secara langsung.
Sehingga
kemudian pendidikan literasi media hadir guna memberikan wawasan, pengetahuan
sekalgus skill, kepada pengguna media
untuk mampu memilah dan menilai isi media massa yang dapat digunakan sekaligus
juga berpikir secara kritis.
Literasi
media berasal dari bahasa inggris, yaitu media
literacy. Dalam hal ini literasi media maerujuk kepada kemampuan khalayak
yang melek terhadap media dan pesan media massa dalam konteks komunikasi massa.
Padaanan kata literasi media dalam bahasa Indonesia juga disebut sebagai melek
media. Beberapa pakar komunikasi dan lembaga mencoba untuk mengurai dengan
spseifik tentang definisi media literasi. Dalam tulisan ini, penulis ingin
mencoba membawa pembaca melihat definisi media literasi yang dikemukakan oleh
Aspen Media Literacy Leadership Institute, bahwa literasi media adalah
kemampuan khalayak untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan menciptakan
media sebagai alternative gerakan. Hal ini tetntunya terkait dengan dengan
kemampuan tiap-tiap individu dalam beragam tahapan aktivitas literasi media.
Ada
beberapa pandangan yang mendasari mengapa literasi media menjadi penting bagi
masyarakat dalam mengkonsumsi pesan media.
1. Khalayak adalah aktif, tetapi mereka belum
tentu sadar akan apa yang mereka lakukan terhadap media.
2. Kebutuhan,
kesm[atan dan pilihan khalayak didorong secara tidak alamiah oleh kases
terhadap media dan konten media
3. Konten
media dapat secara implisit dan eksplisit memberikan tuntutan terhadap tindakan
4. Orang-orang
harus secara realistis mengukur bagaimana interaksi mereka dengan teks media
dapat menentukan ujuan bahwa interaksi tersebut mendukung interaksi mereka
dalam dunia sosial
5. Orang-orang
memiliki tingkatan berbeda dalam pengolahan kognitif dan hal ini dapat secara
radikal mempengaruhi bagaimana mereka menggunakan media dan apa yang mereka
bisa dapatkan dari media.
Dengan
begitu, sesungguhnya literasi media membuka wawasan baru pengguna media bahwa
semua pesan yang dikonsumsi melalui media massa itu dibentuk melalui
kepentingan-kepentingan. Sehingga dengan begitu, khalayak dapat mengetahui cara
konten media mempengaruhi pikirannya dan cara bereaksi secara tepat terhadap
terpaan konten media massa.