Jumat, 13 Desember 2013

Tinjauan Kritis Dennis Mc.Quaill Dan Lahirnya Media Literasi



Media massa bukan hanya mekanisme yang sederhana untuk menyebarkan informasi, lebih daripada itu media merupakan organisasi kompleks yang membentuk institusi sosial masyarakat yang penting. Jelasnya, media adalah pemain utama dalam perjuangan ideologis. Sebagian besar teori komunikasi kritis berhubungan dengan media terutama karena media memiliki kekuatan untuk menyebarkan ideology dominan dan kekuatannya untuk menciptakan ideology tandingan atau alternative. Bagi sebgaian ahli teori kritis, media merupakan bagian dari sebuah institusi budaya yang secara harfiah menciptakan simbol dan gambaran yang dapat member intervensi terhadap kelompok kecil.
Teori kritis secara umum melebihi penelitian tentang media, tetap dalam konteks ini tidak dapat dinafikan adanya ppengaruh yang besar dari media sebagai agen dalam melakukan perubahan sosial. Seorang Dennis McQuaail mengungkapkan seridaknya ada lima premis penting dalam kajian kritis memandang media massa.
1.      Marxisme klasik
Disini, media dipandang sebagai alat bantu dari kelas yang dominan dan sebuah cara untuk para kapitalis menunjukkan ketertarikan mereka dalam menghasilkan keuntungan. Media menyebarkan ideology dari dorongan kelompok yang berkuasa dalam masyarakat dan dengan demikian menindas golongan-golongan tertentu.

2.      Media ekonomi politik
Hampir sama dengan marxisme klasik, McQuaail memandang bahwa media memiliki andil dalam terciptanya keburukan-keburukan dalam masyarakat. Dalam pemikiran ini, isi media adalah sebuah komoditas untuk dijual dipasaran dan informasi yang disebarkan diatur oleh apa yang akan diambil oleh pasar. System ini merujuk pada operasi yang konservatif dan tidak berbahaya, menjadikan jenis program tertentu dan saluran media tertentu dominandan yang lainnya terpinggirkan.

3.      Frankfurt School Media
Konsep ini memandang media sebagai cara untuk membangun budaya, menempatkan lebih banyak penekanan pada pemikiran dibandingkan materi. Dalam cara piki seperti ini, media menghasilkan dominasi ideology golongan atas. Hasil ini didapatkan dengan manipulasi media terhadap gambar dan simbol untuk keuntungan golongan dominan.

4.      Hegemoni media
Hegemoni merupakan dominasi ideology palsu atau cara pikir terhadap kondisi yang sebenarnya. Ideology tidak hanya dihasilkan oleh system ekonomi saja, tetapi ditanamkan secara mendalam disetiap kegiatan masyarakat. Jadi, ideology tidak dapat dipaksakan oleh satu kelompok ke kelompok yang lainnya, tetapi bersifat persuasive dan tidak sadar. Ideology yang dominan menghidupkan minat golongan tertentu atas golongan lain dan media jelas-jelas memainkan peran yang besar dalam proses ini.

5.      Budaya semiotika media
Tinjaun McQuaail tentang semiotika media menarik pada pemaknaan budaya tentang hasil-hasil media. Mereka melihat pada cara-cara isi media ditafsirkan, termasuk penafsiran yang dominan dan oposisional. Budaya semiotika media memandang masyarakat sebagai sebuah bidang persaingan gagasan.

Menanggapi diskusi di atas, jelaslah bagaimana media begitu superior dalam mempengaruhi masyarakat dari kognitif hingga behavior. Apa yang disampaikan oleh McLuhan dan McQuaail memberikan kita gambaran betapa dasyatnya terpaan media hingga merubah banyak pola-pola pemikiran, interaksi dan budaya kita. Tentunya perubahan-perubahan ini bersifat dinamis dan tidak terpaku pada lingkup geografis serta kebiasaan masyarakat. Berikut adalah beberapa perubahan pola interaksi komunikasi serta masalah sosial yang diakibatkan  oleh terpaan media.
-          Cyber crime
-          Silaturrahim virtual
-          Budaya instan
-          Gradasi nilai humanis
-          Terpinggirnya peran keluarga
-          Tergerusnya budaya lokal
-          Semakin tipisnya batas wilayah privat dan non-privat

 Konten media banyak mempengaruhi orientasi budaya khalayak. Misalnya dalam fashion dan mode  yang setiap tahunnya berubah, setiap kali ada produk terbaru maka masyarakat ramai juga mengikuti model pakaian, rambut dan sebagainya. Bagaimana mode kita bisa berubah? Tak lain merupakan hasil dari pengaruh konten media yang kita dapatkan dari media massa.
Kondisi ini seperti yang dikemukakan oleh Ervin Goffman adalah sebuah hypertualized representation, yaitu konten media yang disusun hanya menyoroti tindakan paling bermakna saja. Sebuah iklan misalnya, diedit dan menggunakan daya tarik seksual wanita untuk menarik perhatian pria, tanpa sengaja dapat mengajarkan atau mendorong petunjuk sosial yang memiliki dampak yang tidak disengaja, namun serius.
Cara pandang seseorang terhadap pesan media massa menetukan cara dia dalam menyikapi setiap pesan yang datang kepadanya dan bagaimana dia bersikap. Seringkali kita ditawarkan oleh iklan sabun mandi dengan wanita cantik, putih, yang banyak disukai. Namun, realitas yang ditampilkan oleh iklan tidak seindah apa yang terjadi pada khalayak. Demikian pula kita sering dicekoki oleh tayangan sinetron atau film yang menampilkan  peran protagonis (rupawan, cantik, pintar dan baik hati) sedangkan peran antagonis digmbarkan buruk rupa, kejam, bodoh, jahat dll. Nyatanya dalam realitas, sering kita menemukan para koruptor justru memiliki penampilan yang menarik, rupawan terpelajar dll.
Pada kondisi ini seringkali persepsi khalayak dibentuk oleh pesan media massa, gambaran realita yang ditampilkan berita, iklan dan film kemudian membentuk persepsi terhadapa sebagian orang tentang cara dia memandang dunia nyata. Bahwa apa yang terjadi dalam otak kita seringkali tidak disadari. Walaupun aktifitas ini seringkali mempengaruhi pikiran sadar kita, hal tersebut tidak secara langsung mempengaruhi proses kognitif lainnya. Kesadaran kita bertindak sebagai pengawas tertinggi dari aktifitas kognitif ini, tettapi hanya mampu mengontrol secara terbatas dan secara langsung.
Sehingga kemudian pendidikan literasi media hadir guna memberikan wawasan, pengetahuan sekalgus skill, kepada pengguna media untuk mampu memilah dan menilai isi media massa yang dapat digunakan sekaligus juga berpikir secara kritis.
Literasi media berasal dari bahasa inggris, yaitu media literacy. Dalam hal ini literasi media maerujuk kepada kemampuan khalayak yang melek terhadap media dan pesan media massa dalam konteks komunikasi massa. Padaanan kata literasi media dalam bahasa Indonesia juga disebut sebagai melek media. Beberapa pakar komunikasi dan lembaga mencoba untuk mengurai dengan spseifik tentang definisi media literasi. Dalam tulisan ini, penulis ingin mencoba membawa pembaca melihat definisi media literasi yang dikemukakan oleh Aspen Media Literacy Leadership Institute, bahwa literasi media adalah kemampuan khalayak untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan menciptakan media sebagai alternative gerakan. Hal ini tetntunya terkait dengan dengan kemampuan tiap-tiap individu dalam beragam tahapan aktivitas literasi media.
Ada beberapa pandangan yang mendasari mengapa literasi media menjadi penting bagi masyarakat dalam mengkonsumsi pesan media.
1.       Khalayak adalah aktif, tetapi mereka belum tentu sadar akan apa yang mereka lakukan terhadap media.
2.      Kebutuhan, kesm[atan dan pilihan khalayak didorong secara tidak alamiah oleh kases terhadap media dan konten media
3.      Konten media dapat secara implisit dan eksplisit memberikan tuntutan terhadap tindakan
4.      Orang-orang harus secara realistis mengukur bagaimana interaksi mereka dengan teks media dapat menentukan ujuan bahwa interaksi tersebut mendukung interaksi mereka dalam dunia sosial
5.      Orang-orang memiliki tingkatan berbeda dalam pengolahan kognitif dan hal ini dapat secara radikal mempengaruhi bagaimana mereka menggunakan media dan apa yang mereka bisa dapatkan dari media.

Dengan begitu, sesungguhnya literasi media membuka wawasan baru pengguna media bahwa semua pesan yang dikonsumsi melalui media massa itu dibentuk melalui kepentingan-kepentingan. Sehingga dengan begitu, khalayak dapat mengetahui cara konten media mempengaruhi pikirannya dan cara bereaksi secara tepat terhadap terpaan konten media massa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar