Sosok menakutkan itu kembali menyeruak dari balik dinding lampau. Bayangannya begitu kelam, hingga ratusan cahaya neon tak mampu memberkasnya. Ada gelisah dan prahara dari sorot matanya yang runcing. Mungkin bersiap untuk menikam dada yang tidak terjaga oleh rompi. Wajah ini tertunduk tegang, tak berani menengoknya walau hanya sesaat. Pun mata ini seperti kehilangan kelopak, tak mampu membuka tertutup rapat hingga gemetar.
Bayangan lampau itu bernama Alone. Sejak dahulu dia terus
menguntitku, membuntutiku tak kenal lelah. Dari pagi ke pagi lagi. Dari senja
ke senja lagi, dari kemarau ke kemarau lagi, alone selalu berada di balik
dinding itu. Kadang dia bersembunyi di balik pintu, menungguku masuk ke kamar
dan mengagetkanku. Pernah suatu kali dia berada di bawah kolong ranjang bersama
dengan debu-debu dan bangkai kecoa yang telah membusuk.
Aku mencoba bertahan di luar sana dengan harapan Alone
telah pergi dari rumah karena terlalu lama menungguku. Bertahan di luar sana
tidak semudah seperti para rockstar yang berkeluh kesah dengan zaman. Tidak semudah
para ustadz juga yang menyampaikan dalil-dalil kebenaran di depan para jamaat
bayaran. Sungguh bertahan di luar sana adalah kesukaran yang berlebih. Hingga suatu
saat aku berjumpa dengan kawan hawa yang sekiranya dapat menemaniku untuk
melupakan rumah dan Alone. Aku begitu takjub dengan kawan hawa ini, hingga
suatu waktu aku memergoki dia sedang bercumbu dengan sesosok tubuh yang begitu
familiar denganku. Benar saja, dia adalah Alone. Sungguh, begitu menjijikannya
kawan hawa itu dan lebih menjijikan lagi adalah senyum tragisnya yang mekar di
depan nisanku.
Kupacu nafas ini kembali ke rumah. Kulalaui jalan-jalan
yang becek terkena hujan semalam. Waktu seperti berkejaran denganku, jangan
sampai Alone tiba duluan di rumah. Aku ingin menguncikannya dari dalam rumah,
aku ingin menutup rapat-rapat setiap pintu dan jendela. Pikirku, ketika aku tak
mampu membuatnya pergi dengan tidak pulang ke rumah, maka aku akan membuatnya
membusuk di luar sana menunggu aku keluar dari rumah. Kubuka gembok pagar
kututup dan kukunci kembali. Ku buka pintu rumah dan kututup kembali. Ku rapatkan
setiap celah dari jendela dan pintu belakang rumah, kupastikan bahwa tak ada
sedikitpun lubang yang akan dilalui oleh Alone untuk masuk ke rumah.
Sesaat setelah memastikan semuanya tertutup rapat, aku
mencoba untuk menghela nafas dalam-dalam. Sedikit melonggarkan kancing celana
dan menukar baju yang bau keringat. Kaget saja, ketika aku membuka lemari, Alone
berada dalam lemari pakaianku. Aku mencoba untuk menenangkan diri, tidak panik
dan berusaha berpikir logis. Tiba-tiba untuk pertama kalinya dalam usiaku, Alone
menyapaku,
“Hei, tidakkah kau
lelah menghindariku...? Mengapa kau begitu bodoh, bahwa aku ada dimana-mana. Mengapa
kita tidak mencoba berteman saja agar
kau tak sendiri lagi.”?
“Tidak” ujarku...
Aku
adalah orang yang pantang untuk menyerah dan menyerahkan sisa hidupku bersama Alone.
Ditengah kegusaranku, tiba-tiba suara halus itu mengalir di dalam rongga-rongga
telingaku. Suara itu sepertinya aku mengenalnya. Kucari-kucari, kesetiap sudut
rumah ini. Suaranya makin lantang, tapi tetap saja aku tidak dapat mendengar
dengan jelas yang diucapkannya. Suara itu
berasal dari smartphone ku. Benar saja, satu pesan pemberitahuan dari aplikasi
chat menyapaku.Tertulis nama sang pengirim. Dia yang aku kenal ketika aku
bertahan di luar sana. Dia yang menyukai memandang bintang dari genteng
rumahnya. Dia yang memimpikan memiliki rumah dengan halaman yang luas agar
dapat berkebun. Dia yang memiliki keinginan untuk melihat kota serambi mekkah. Dia
yang membuncahkan rinduku sejak malam itu di depan pagar rumahnya.
Sesaat
setelah itu, aku mencari-cari alone. Aku ingin mengatakan padanya, bahwa aku
tak akan berteman dengannya. Bahwa aku akan segera membunuhnya. Kucari Alone di
tempat-tempat biasa dia bersembunyi, di lemari, kolong ranjang, ventilasi
jendela, di balik pintu. Aku tidak menemukannya.
Beberapa
hari kemudian, aku mendenga kabar bahwa Alone kini berada di rumah sebelah,
sedang membuntuti seseorang sembari mengawasiku kalau saja aku kehilangannya.
Maka
jangan pernah mengucapkan selamat tinggal hai pemilik rindu
Jangan
pernah berlari jauh hai penyuka putih
Jangan
pernah melambaikan tangan wahai pemilik pagar asa
Dan
jangan pernah ragu padaku hai pembimbing ikrar
Jangan
juga biarkan dirimu berhenti percaya hai pembunuh Alone
Tidak ada komentar:
Posting Komentar