Kamis, 17 April 2014

Sang Pembunuh


                 Sosok menakutkan itu kembali menyeruak dari balik dinding lampau. Bayangannya begitu kelam, hingga ratusan cahaya neon tak mampu memberkasnya. Ada gelisah dan prahara dari sorot matanya yang runcing. Mungkin bersiap untuk menikam dada yang tidak terjaga oleh rompi. Wajah ini tertunduk tegang, tak berani menengoknya walau hanya sesaat. Pun mata ini seperti kehilangan kelopak, tak mampu membuka tertutup rapat hingga gemetar.

         Bayangan lampau itu bernama Alone. Sejak dahulu dia terus menguntitku, membuntutiku tak kenal lelah. Dari pagi ke pagi lagi. Dari senja ke senja lagi, dari kemarau ke kemarau lagi, alone selalu berada di balik dinding itu. Kadang dia bersembunyi di balik pintu, menungguku masuk ke kamar dan mengagetkanku. Pernah suatu kali dia berada di bawah kolong ranjang bersama dengan debu-debu dan bangkai kecoa yang telah membusuk. 

                Bertahun-tahun aku mencoba menghindarinya. Bersembunyi di balik senyum dan kepura-puraan. Kadang aku tidak pulang ke rumah agar tidak berjumpa dengannya. Kadang pula aku menyibukkan diri dengan kontong-kantong keramain pasar dan terminal. Berharap Alone bosan menungguku pulang dan akhirnya patah arang. 

            Aku mencoba bertahan di luar sana dengan harapan Alone telah pergi dari rumah karena terlalu lama menungguku. Bertahan di luar sana tidak semudah seperti para rockstar yang berkeluh kesah dengan zaman. Tidak semudah para ustadz juga yang menyampaikan dalil-dalil kebenaran di depan para jamaat bayaran. Sungguh bertahan di luar sana adalah kesukaran yang berlebih. Hingga suatu saat aku berjumpa dengan kawan hawa yang sekiranya dapat menemaniku untuk melupakan rumah dan Alone. Aku begitu takjub dengan kawan hawa ini, hingga suatu waktu aku memergoki dia sedang bercumbu dengan sesosok tubuh yang begitu familiar denganku. Benar saja, dia adalah Alone. Sungguh, begitu menjijikannya kawan hawa itu dan lebih menjijikan lagi adalah senyum tragisnya yang mekar di depan nisanku. 

            Kupacu nafas ini kembali ke rumah. Kulalaui jalan-jalan yang becek terkena hujan semalam. Waktu seperti berkejaran denganku, jangan sampai Alone tiba duluan di rumah. Aku ingin menguncikannya dari dalam rumah, aku ingin menutup rapat-rapat setiap pintu dan jendela. Pikirku, ketika aku tak mampu membuatnya pergi dengan tidak pulang ke rumah, maka aku akan membuatnya membusuk di luar sana menunggu aku keluar dari rumah. Kubuka gembok pagar kututup dan kukunci kembali. Ku buka pintu rumah dan kututup kembali. Ku rapatkan setiap celah dari jendela dan pintu belakang rumah, kupastikan bahwa tak ada sedikitpun lubang yang akan dilalui oleh Alone untuk masuk ke rumah. 

            Sesaat setelah memastikan semuanya tertutup rapat, aku mencoba untuk menghela nafas dalam-dalam. Sedikit melonggarkan kancing celana dan menukar baju yang bau keringat. Kaget saja, ketika aku membuka lemari, Alone berada dalam lemari pakaianku. Aku mencoba untuk menenangkan diri, tidak panik dan berusaha berpikir logis. Tiba-tiba untuk pertama kalinya dalam usiaku, Alone menyapaku,

“Hei, tidakkah kau lelah menghindariku...? Mengapa kau begitu bodoh, bahwa aku ada dimana-mana. Mengapa kita tidak mencoba  berteman saja agar kau tak sendiri lagi.”?

“Tidak” ujarku...

Aku adalah orang yang pantang untuk menyerah dan menyerahkan sisa hidupku bersama Alone. Ditengah kegusaranku, tiba-tiba suara halus itu mengalir di dalam rongga-rongga telingaku. Suara itu sepertinya aku mengenalnya. Kucari-kucari, kesetiap sudut rumah ini. Suaranya makin lantang, tapi tetap saja aku tidak dapat mendengar dengan jelas yang diucapkannya.  Suara itu berasal dari smartphone ku. Benar saja, satu pesan pemberitahuan dari aplikasi chat menyapaku.Tertulis nama sang pengirim. Dia yang aku kenal ketika aku bertahan di luar sana. Dia yang menyukai memandang bintang dari genteng rumahnya. Dia yang memimpikan memiliki rumah dengan halaman yang luas agar dapat berkebun. Dia yang memiliki keinginan untuk melihat kota serambi mekkah. Dia yang membuncahkan rinduku sejak malam itu di depan pagar rumahnya. 

Sesaat setelah itu, aku mencari-cari alone. Aku ingin mengatakan padanya, bahwa aku tak akan berteman dengannya. Bahwa aku akan segera membunuhnya. Kucari Alone di tempat-tempat biasa dia bersembunyi, di lemari, kolong ranjang, ventilasi jendela, di balik pintu. Aku tidak menemukannya. 

Beberapa hari kemudian, aku mendenga kabar bahwa Alone kini berada di rumah sebelah, sedang membuntuti seseorang sembari mengawasiku kalau saja aku kehilangannya.

Maka jangan pernah mengucapkan selamat tinggal hai pemilik rindu
Jangan pernah berlari jauh hai penyuka putih
Jangan pernah melambaikan tangan wahai pemilik pagar asa
Dan jangan pernah ragu padaku hai pembimbing ikrar
Jangan juga biarkan dirimu berhenti percaya hai pembunuh Alone
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar