Rabu, 24 Juli 2013

Ramadhan Dalam Bingkai Kotak Pandora (Kritik Terhadap Televisi Sebagai Institusi Ekonomi)



Pernahkan anda memperhatikan program-program televisi belakangan ini ketika bulan ramadhan berlangsung? Jika iya,  pernahkah anda sedikit memperhatikan apa program yang paling banyak dijumpai? Secara umum, mungkin tidak banyak yang berbeda dengan program-program yang selama ini kita jumpai?
Berita, infotainment, kuis, komedi, sinetron dan ajang pencarian bakat? Lalu apa yang berbeda? Jawabannya adalah bahwa semua tayangan tersebut berubah menjadi bernuansa ramadhan atau menggunakan atribut-atribut islam.
Dalam konsep Jurgen Hubermas, media merupakan sebuah institusi sosial sekaligus menjadi institusi ekonomi. Melihat bagaimana fenomena televisi hari ini, institusi sosial seakan dilupakan dan ditutupi oleh kepentingan ekonomi dan politik. Belum lagi ketika melihat bagaimana manuver-manuver yang dijalankan oleh sang ‘bos’ yang berkecimpung aktif dalam dunia politik pemerintahan. Seakan-akan, semuanya dilupakan atas nama keuntungan ekonomi dan asal ‘bos’ senang.
            Dalam melihat media massa – dalam hal ini televisi, Hubermas berangkat dari perspektif kritis yang ditelurkan oleh Karl Marx, yang mengasumsikan tentang keterasingan manusia melalui faktor-faktor ekonomi. Marx berfokus pada hal-hal yang menjadi sumber keterasingan manusia dan menjauhkan manusia dari sebuah kesejatian, yaitu emansipasi dan tanpa dominasi. Dan ketika sebuah hal dijadikan sebagai komoditas untuk mencapai keuntungan secara ekonomi, maka saat itu pula Marx mengatatakan bahwa manusia semakin menjauh dari kemanusiaannya, dari hakikatnya karena komoditas yang dibentuk selalu saja dihasilkan dari kekuasaan yang mendominasi – sistem kapitalis.
            Begitu juga dengan bulan suci ramadhan, yang oleh seluruh umat Islam di dunia selalu menanti bulan yang sakral ini. Bahkan, seseorang yang dianggap tidak memiliki mental keislaman yang tebal atau pengetahuan agama yang kurang, bisa sangat memahami tentang ramadhan dan puasanya. Konteks ramadhan kemudian dijadikan sebagai bahan jualan oleh televisi melalui program-programnya. Segala macam tayangan, semuanya dimodifikasi menjadi bernuansa islam. Sinetron, kuis, komedi, talkshow hingga ajang pencarian bakat semuanya bertemakan tentang ramdhan atau islam.
            Dalam konteks media sebagai penyebar informasi kepada masyarakat, Joshua Meyroitz (Teori Komunikasi, Little Jhon) menggambarkan tiga metafora yang mewakili berbagai sudut pandang – media sebagai vessel, media sebagai bahasa dan media sebagai lingkungan. Pada metafora ketiga inilah, sistem televisi sebagai penyebar informasi ke masyarakat berfungsi. Metafora ini berlandaskan oleh gagasan bahwa kita hidup dalam lingkungan yang penuh dengan berbagai informasi yang disebarkan oleh keberadaan media dengan beragam kecepatan, ketepatan, kemampuan melakukan interaksi, persyaratan fisik dan kemudahan belajar. Lingkungan media tersebut membentuk pengalaman pada manusia dengan cara-cara yang signifikan dan seringkali tanpa disadari. 

a.      Realitas Media Dalam Tinjauan Ontology Kritis
            Dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan, pembahasan ontology fokus pada pertanyaan tentang ‘ada’ hakikat keberadaan dan bagaimana realitas dibentuk serta dipahami dengan menyeluruh – secara obyektif dan subyektif.  Pandangan ontology melihat sebuah realitas tidak murni sebagai apa yang ada sebenarnya. Realitas yang selalu dianggap memiliki substansi tertentu dan muatan ideology. Seperti apa yang dikatakan oleh Harrold D. Lasswell tentang fungsi media massa – televisi yaitu, survaillence (penyebearan informasi), transmission (pemberi alternative) dan correlation (penyebaran ideology). Televisi jelas sebagai penyebar informasi dalam lingkungan masyarakat. Tentunya apabila kita telaah dan pertanyakan lebih jauh, apakah informasi yang diterima adalah benar, apakah informasi tersebut dibutuhkan dan apakah informasi tersebut memiliki manfaat pada masyarakat. Informasi bisa dikatakan memiliki manfaat pada masyarakat apabila memberikan pandangan-pandangan yang berbeda dalam menyelesaikan konflik dalam masyarakat – seperti yang diakatakan pada fungsi kedua, yaitu transmission. Lebih jauh kita melihat dan menelaah  bagaimana fungsi ketiga (penyebaran ideology)  tertentu dalam penelitian ini. Pada akhirnya, kajian ontology pada perspektif kritis melihat konteks komunikasi dalam hal ini televisi adalah sebagai realitas semu yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu dalam menjalankan fungsinya.

b.      Ideologi dan Hegemoni Televisi Dalam Tinjauan Epistimologi Kritis
Dalam pandangan epistimologi, sebuah kebenaran harus didasarkan pada sebuah pendekatan. Apabila perspektif postpositivis lebih kepada pendekatan secara obyektif dan deduktif, interpretatif melakukan pendekatan subyektif dan induktif. Sedangkan pada perspektif kritis, seperti yang telah disebutkan di atas bahwa untuk memahami bagaimana teori-teori bekerja dalam perspektif kritis maka kita harus total atau secara menyeluruh menggunakan pendekatan realis (postpositivis) dan nomalis (interpretative).
Jurgen Hubermas menggunakan istilah ideology untuk menggambarkan apa yang dikatakan sebagai substansi tertentu pada realitas media. Menurut Hubermas, realitas yang ditampilkan oleh media tidak serta merta dapat dipahami sebagai apa yang menjadi sebuah kebenaran. Hubermas mengatakan, kebenaran kritis ketika tidak ada lagi ideology yang mendominasi ideology yang lainnya dan setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk mengekspresikan dirinya dalam rangka menuju emansispasi kemanusiaan. Media massa – televisi tentunya tidak dapat dipisahkan dari berbagai kepentingan terutama kepentingan ekonomi. Televisi juga menjadi penyebar informasi dan memiliki pandangan atau kepentingan ekonomi. Dalam konteks media dalam tradisi kritis, Marchal McLuhan membagi lima kategori kritik terhadap media. Salah satunya adalah, bahwa media dijadikan sebagai alat untuk meraih keuntungan yang maksimal dengan menjadikan setiap yang ditampilkan oleh media menjadi komoditas. Komoditas disinilah yang dikatakan oleh Mc Luhan sebagai penyimpangan terhadap tanggung jawab sosial media dan menjadikan orientasi media menjadi isntitusi ekonomi dan politik.
Bulan ramadhan dengan segala hiruk pikuknya dalam masyrakat Indonesia menjadi sebuah produk yang sangat sayang dilewatkan oleh televisi. Alih-alih menjadi sebuah media untuk membawa masyarakat – islam lebih dekat dan lebih bermakna ke sang khalik, televisi menjadi momok dan media hiburan yang sangat jauh dari konsep nilai-nilai keislaman. Saling mencela, saling ‘mengerjai’, merendahkan orang lain dan eksplotasi anak-anak. Kita biasa melihat beberapa tayangan hiburan di beberapa stasiun tv. Apa yang mendasari hal tersebut, tentunya kontrak yang bernilai ekonomi tinggi dari sponsor (iklan). Disinilah hukum ekonomi televisi bekerja.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar