Pernahkan
anda memperhatikan program-program televisi belakangan ini ketika bulan
ramadhan berlangsung? Jika iya,
pernahkah anda sedikit memperhatikan apa program yang paling banyak
dijumpai? Secara umum, mungkin tidak banyak yang berbeda dengan program-program
yang selama ini kita jumpai?
Berita,
infotainment, kuis, komedi, sinetron dan ajang pencarian bakat? Lalu apa yang
berbeda? Jawabannya adalah bahwa semua tayangan tersebut berubah menjadi
bernuansa ramadhan atau menggunakan atribut-atribut islam.
Dalam
konsep Jurgen Hubermas, media merupakan sebuah institusi sosial sekaligus
menjadi institusi ekonomi. Melihat bagaimana fenomena televisi hari ini, institusi
sosial seakan dilupakan dan ditutupi oleh kepentingan ekonomi dan politik.
Belum lagi ketika melihat bagaimana manuver-manuver yang dijalankan oleh sang
‘bos’ yang berkecimpung aktif dalam dunia politik pemerintahan. Seakan-akan,
semuanya dilupakan atas nama keuntungan ekonomi dan asal ‘bos’ senang.
Dalam melihat media massa – dalam
hal ini televisi, Hubermas berangkat dari perspektif kritis yang ditelurkan
oleh Karl Marx, yang mengasumsikan tentang keterasingan manusia melalui
faktor-faktor ekonomi. Marx berfokus pada hal-hal yang menjadi sumber
keterasingan manusia dan menjauhkan manusia dari sebuah kesejatian, yaitu
emansipasi dan tanpa dominasi. Dan ketika sebuah hal dijadikan sebagai
komoditas untuk mencapai keuntungan secara ekonomi, maka saat itu pula Marx
mengatatakan bahwa manusia semakin menjauh dari kemanusiaannya, dari hakikatnya
karena komoditas yang dibentuk selalu saja dihasilkan dari kekuasaan yang
mendominasi – sistem kapitalis.
Begitu juga dengan bulan suci
ramadhan, yang oleh seluruh umat Islam di dunia selalu menanti bulan yang sakral
ini. Bahkan, seseorang yang dianggap tidak memiliki mental keislaman yang tebal
atau pengetahuan agama yang kurang, bisa sangat memahami tentang ramadhan dan
puasanya. Konteks ramadhan kemudian dijadikan sebagai bahan jualan oleh
televisi melalui program-programnya. Segala macam tayangan, semuanya
dimodifikasi menjadi bernuansa islam. Sinetron, kuis, komedi, talkshow hingga
ajang pencarian bakat semuanya bertemakan tentang ramdhan atau islam.
Dalam konteks media sebagai penyebar
informasi kepada masyarakat, Joshua Meyroitz (Teori Komunikasi, Little Jhon)
menggambarkan tiga metafora yang mewakili berbagai sudut pandang – media
sebagai vessel, media sebagai bahasa
dan media sebagai lingkungan. Pada metafora ketiga inilah, sistem televisi
sebagai penyebar informasi ke masyarakat berfungsi. Metafora ini berlandaskan
oleh gagasan bahwa kita hidup dalam lingkungan yang penuh dengan berbagai
informasi yang disebarkan oleh keberadaan media dengan beragam kecepatan,
ketepatan, kemampuan melakukan interaksi, persyaratan fisik dan kemudahan
belajar. Lingkungan media tersebut membentuk pengalaman pada manusia dengan
cara-cara yang signifikan dan seringkali tanpa disadari.
a.
Realitas
Media Dalam Tinjauan Ontology Kritis
Dalam konteks perkembangan ilmu
pengetahuan, pembahasan ontology fokus pada pertanyaan tentang ‘ada’ hakikat
keberadaan dan bagaimana realitas dibentuk serta dipahami dengan menyeluruh –
secara obyektif dan subyektif. Pandangan
ontology melihat sebuah realitas tidak murni sebagai apa yang ada sebenarnya.
Realitas yang selalu dianggap memiliki substansi tertentu dan muatan ideology.
Seperti apa yang dikatakan oleh Harrold D. Lasswell tentang fungsi media massa
– televisi yaitu, survaillence (penyebearan
informasi), transmission (pemberi
alternative) dan correlation
(penyebaran ideology). Televisi jelas sebagai penyebar informasi dalam
lingkungan masyarakat. Tentunya apabila kita telaah dan pertanyakan lebih jauh,
apakah informasi yang diterima adalah benar, apakah informasi tersebut
dibutuhkan dan apakah informasi tersebut memiliki manfaat pada masyarakat. Informasi
bisa dikatakan memiliki manfaat pada masyarakat apabila memberikan
pandangan-pandangan yang berbeda dalam menyelesaikan konflik dalam masyarakat –
seperti yang diakatakan pada fungsi kedua, yaitu transmission. Lebih jauh kita melihat dan menelaah bagaimana fungsi ketiga (penyebaran
ideology) tertentu dalam penelitian ini.
Pada akhirnya, kajian ontology pada perspektif kritis melihat konteks
komunikasi dalam hal ini televisi adalah sebagai realitas semu yang memiliki
kepentingan-kepentingan tertentu dalam menjalankan fungsinya.
b.
Ideologi
dan Hegemoni Televisi Dalam Tinjauan Epistimologi Kritis
Dalam
pandangan epistimologi, sebuah kebenaran harus didasarkan pada sebuah
pendekatan. Apabila perspektif postpositivis lebih kepada pendekatan secara
obyektif dan deduktif, interpretatif melakukan pendekatan subyektif dan
induktif. Sedangkan pada perspektif kritis, seperti yang telah disebutkan di
atas bahwa untuk memahami bagaimana teori-teori bekerja dalam perspektif kritis
maka kita harus total atau secara menyeluruh menggunakan pendekatan realis
(postpositivis) dan nomalis (interpretative).
Jurgen
Hubermas menggunakan istilah ideology untuk menggambarkan apa yang dikatakan
sebagai substansi tertentu pada realitas media. Menurut Hubermas, realitas yang
ditampilkan oleh media tidak serta merta dapat dipahami sebagai apa yang
menjadi sebuah kebenaran. Hubermas mengatakan, kebenaran kritis ketika tidak
ada lagi ideology yang mendominasi ideology yang lainnya dan setiap manusia
memiliki kesempatan yang sama untuk mengekspresikan dirinya dalam rangka menuju
emansispasi kemanusiaan. Media massa – televisi tentunya tidak dapat dipisahkan
dari berbagai kepentingan terutama kepentingan ekonomi. Televisi juga menjadi
penyebar informasi dan memiliki pandangan atau kepentingan ekonomi. Dalam
konteks media dalam tradisi kritis, Marchal McLuhan membagi lima kategori
kritik terhadap media. Salah satunya adalah, bahwa media dijadikan sebagai alat
untuk meraih keuntungan yang maksimal dengan menjadikan setiap yang ditampilkan
oleh media menjadi komoditas. Komoditas disinilah yang dikatakan oleh Mc Luhan
sebagai penyimpangan terhadap tanggung jawab sosial media dan menjadikan
orientasi media menjadi isntitusi ekonomi dan politik.
Bulan
ramadhan dengan segala hiruk pikuknya dalam masyrakat Indonesia menjadi sebuah
produk yang sangat sayang dilewatkan oleh televisi. Alih-alih menjadi sebuah
media untuk membawa masyarakat – islam lebih dekat dan lebih bermakna ke sang
khalik, televisi menjadi momok dan media hiburan yang sangat jauh dari konsep
nilai-nilai keislaman. Saling mencela, saling ‘mengerjai’, merendahkan orang
lain dan eksplotasi anak-anak. Kita biasa melihat beberapa tayangan hiburan di
beberapa stasiun tv. Apa yang mendasari hal tersebut, tentunya kontrak yang
bernilai ekonomi tinggi dari sponsor (iklan). Disinilah hukum ekonomi televisi
bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar